Selasa, 16 Maret 2010

DAHLAN ISKAN & POWER SECTOR RESTRUCTURING PROGRAM

”Langkah awal dari restrukturisasi di Sektor Ketenagalistrikan adalah pemecahan (Unbundling) secara geografis Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Disektor Ketenagalistrikan yang lebih berkembang, usaha penyediaan tenaga listriknya juga akan dipecah (Unbundling) menjadi usaha pembangkit, transmisi dan distribusi, kompetisi akan diperkenalkan dan sebuah badan pengatur yang Independen akan dibentuk”

Demikian pengantar Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto pada The White Paper (Buku Putih) yang merupakan    Blue Print kebijakan Sektor Ketenagalistrikan atau lebih dikenal  Power Sector Restructuring Program pada Agustus 1998. Kebijakan tersebut muncul menyusul ditanda tanganinya kesepakatan antara Pemerintah dan IMF berupa Letter of Intent (LOI) oleh Presiden Soeharto diujung kekuasaaannya. LOI tersebut diantaranya merupakan komitmen Pemerintah Indonesia untuk meliberalkan Sektor Ketenagalistrikan sebagai prasyarat dikucurkannya pinjaman struktural sebesar $ 900 juta pada Tahun 1999 yang sebagian besar berasal dari ADB, JEXIM (JEPANG) dan USAID (Amerika Serikat).

Kata kunci dari pengantar Menteri Pertambangan dan Energi atas  Power Sector Restructuring Program pada 1998 tersebut adalah, pemecahan geografis (Unbundling Horizontal) dan pemecahan fungsi (Unbundling Vertikal) di Sektor Ketenagalistrikan, atau tegasnya, dengan nuansa tekanan dari donor driven –yang dalam hal ini di wakili oleh       IMF– Pemerintah terpaksa akan meliberalkan kelistrikan Jawa – Bali, yang diwujudkan dengan melakukan privatisasi asset PLN pada wilayah tersebut terlebih dahulu, dan menyerahkan pengelolaan PLN Luar Jawa kepada Pemda setempat.


Dengan demikian sektor ketenagalistrikan akan mengalami phase Unbundling Vertikal untuk kelistrikan Jawa – Bali, dan Undbundling Horisontal untuk kelistrikan Luar Jawa yang semua ini di implementasikan kedalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang ketenagalistrikan.

UNBUNDLING VERTIKAL.
Dalam UU nomor  20 Tahun 2002 Almarhum, terlihat jelas bahwa pasal 8 ayat (2) serta pasal 16 telah mengamanatkan kepada Pemerintah,  agar sektor ketenagalistrikan didaerah yang sudah berkembang (Baca :   Jawa – Bali), dipecah (Unbundling) secara vertikal kedalam unit usaha yang terpisah diantara Pembangkit, Transmisi, Distribusi dan Ritail, yang kemudian dikompetisikan (mengikuti mekanisme pasar bebas). Namun dengan pertimbangan bahwa, apabila instalasi PLN yang semula    vertically integrated system, kemudian dilakukan Unbundling secara vertikal akan menghilangkan Penguasaan Negara atas sektor ketenagalistrikan, dan berakibat harga listrik tidak terkendali, maka Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan tersebut pada 15 Desember 2004.

UNBUNDLING HORISONTAL.
Pemecahan secara geografis (Unbundling Horisontal), dimaksudkan agar sektor ketenagalistrikan pada daerah yang dianggap belum berkembang (Luar – Jawa) diserahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Daerah. Sehingga Pemerintah Daerah mempunyai otoritas langsung untuk mengembangkan Sektor Ketenagalistrikan didaerahnya. Namun perlu diketahui bahwa subsidi listrik semakin lama semakin membengkak, dan puncaknya sebagaimana Statistik PLN 2008 yang menunjukkan bahwa besaran subsidi mencapai angka Rp 76,5 trilyun, yang berarti tiap unit PLN (propinsi) paling tidak secara rata-rata telah mengalami devisit sebesar      Rp 2 trilyun lebih, yang artinya pula apabila kebijakan power sector restructuring ini diterapkan secara konsisten, maka pemerintah daerah, dan ujung-ujungnya konsumen luar jawalah yang akan merasakan dampak kenaikan tarif dasar listrik. Faktor ini pula yang menjadikan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dijelaskan pada halaman 188 butir 5 keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 001-021-022/PUU-I/2003     untuk menolak power sector restructuring yang dituangkan kedalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tersebut.
FENOMENA PEMAKSAAN KEBIJAKAN.
Adalah fakta bahwa pada tanggal 15 Desember 2004 Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan kredibilitasnya dengan membatalkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang ketenagalistrikan, yang nyata-nyata melanggar UUD’45 khususnya pasal 33 ayat (2), dimana Cabang Produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara. Adalah fakta pula bahwa sektor ketenagalistrikan, dalam persidangan Mahkamah Konstitusi antara 2003 – 2004 yang lalu, terbukti merupakan cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Namun demikian meskipun Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002       telah dibatalkan pada tanggal 15 Desember 2004, secara tiba-tiba pada Maret 2005 muncul Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sektor Ketenagalistrikan dengan nuansa lebih liberal dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Almarhum. Muncul pula Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2007 tentang Grid Code yang essensinya merupakan perwujudan otoritas Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BAPETAL) sebagaimana diamanahkan oleh   Undang-Undang yang telah dibatalkan.

Indikasi lain dari insistensi Pemerintah untuk tetap meliberalkan sektor ketenagalistrikan meskipun dasar hukumnya tidak ada, adalah dengan munculnya hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa pada 08 Januari 2008 dimana kebijakan Unbundling baik vertikal maupun horisontal bagi PLN dipaksa untuk dilaksanakan melalui mekanisme kebijakan korporat.

Bahkan akhirnya pada tanggal 23 September 2009 (hari libur lebaran), Pemerintah menandatangani Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan yang baru, yang secara essensial sama dengan semangat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 yang telah dibatalkan.

Sikap insist pemerintah yang sangat kental untuk mem privatisasi (baca : menjual) PLN di Wilayah Jawa – Bali diatas, bukanlah sikap yang kebetulan atau tanpa program yang matang. Terlebih-lebih negara tetangga (Philipina) pun telah melakukan hal yang sama atas ”PLN” nya yang bernama National Power Corporation (Napocor).

NAPACOR saat ini telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta nasional maupun asing dan bahkan menurut Public Services International (PSI) –sebuah organisasi buruh internasional dibidang pelayanan publik yang berkantor pusat di Jeneva– keluarga Presiden Arroyo pun menguasai beberapa pembangkit, bekerjasama dengan konglomerat setempat.

Dengan contoh riil diatas, sepertinya pemerintah terinspirasi untuk melakukan hal yang sama, terlebih-lebih dengan adanya kesanggupan yang secara explisit tertuang dalam Letter of Intent tertanggal 16 Maret 1999, bagian supplement, butir 20 yang menyatakan : ”The Government intends to restructure the power sector to improve efficiency and reduce fiscal burden. With the support of the Word Bank and AsDB, the government will (i) establish the legal and regulatory frame work to create competitive electricity market, (ii) restructure the organization of the PLN, (iii) adjust the electricity tariff; (iv) rationalize power purchase from private sector power project. The government has commenced renegotiation with the Independent Power Producer, will initiate the organizational restructuring of PLN by June 1999 and will enact the new Electricity Law by December 1999”.

Dari dokumen diatas jelaslah bahwa pemerintah masih merasa punya hutang untuk melaksanakan Power Sector Restructuring Program dalam rangka implementasi LOI, yaitu Road Map privatisasi PLN.

DIPERLUKAN BLACK CAMPAIGN TERHADAP PLN.
Dalam setiap langkah untuk memprivatisasi BUMN, maka biasanya pemerintah selalu memerlukan justifikasi sebagai dasar pembenaran langkah tersebut, sebagaimana pernah terungkap dalam persidangan yudicial review Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002, dimana saat itu pemerintah diantaranya beragumentasi bahwa sumberdaya manusia PLN tidak effisien. Tetapi argumentasi semacam itu tidak bisa diterima oleh Mahkamah Konstitusi, bahkan sebagaimana tertera pada halaman 349 Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 001-021-022/PUU-I/2003 dinyatakan : “Menimbang bahwa adanya kenyataan inefisiensi BUMN yang timbul karena factor-faktor miss management serta korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan pasal 33 UUD’45, bak pepatah buruk muka cermin dibelah. Pembenahan yang dilakukan haruslah memperkuat penguasaan Negara untuk dapat melaksanakan kewajiban konstitusionalnya sebagaimana disebut dalam pasal 33 UUD’45”.
Ungkapan buruk muka cermin dibelah diatas, kurang lebih adalah sindiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pemerintah dan DPR yang alih-alih membina, bahkan seringnya merusak BUMN dengan menjadikannya      cash cow.

Munculnya argumentasi pemerintah atas ketidak efisienan BUMN yang hendak diprivatisasi inilah, yang ditengarai sebagai black campaign.

Bahkan, untuk PLN, black campaign semacam ini dalam lima tahun terakhir semakin menjadi-jadi. Diantaranya pemberitaan tentang makin membengkaknya subsidi terhadap PLN, pada hal pembengkakan anggaran tersebut diantaranya adalah akibat penanganan domestic market obligation (DMO) oleh pemerintah yang tidak benar, sehingga mengakibatkan pemborosan operasional sekitar Rp 20 trilyun per tahun akibat permasalahan 7500 MW pembangkit PLTU dual firing PLN, yang mestinya dapat dioperasikan dengan gas tetapi karena langka, akhirnya dioperasikan dengan BBM, yang biaya operasionalnya lima kali lipat. Permasalahan lain adalah terjadinya listrik padam, sebagaimana terjadi di jakarta beberapa minggu yang lalu akibat trafo yang meledak, karena tidak adanya uang pemeliharaan dan penggantian trafo. Semua ini terjadi karena adanya pemotongan biaya operasional yang kemudian dialokasikan untuk penyelesaian proyek 10.000 MW yang gagal didanai oleh Bank Of China.

Dan ternyata memang benar, sebagaimana terungkap dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR RI tanggal 06 Mei 2009,  bahwa  karena PLN tidak effisien, maka diperlukan Undang-Undang Ketenagalistrikan yang baru, yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009.

FENOMENA DAHLAN ISKAN
Kalau ditelusuri mulai adanya Letter of Intent (LOI), Oktober 1997, kemudian terbitnya the white paper Menteri Pertambangan dan Energi Agustus 1998 dengan essensi komitmen pemerintah untuk melakukan  unbundling dan privatisasi PLN sebagai perwujudan pelaksanaan power sector restructuring program, kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang ketenagalistrikan yang akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi, kemudian muncul peraturan dibawah Undang-Undang yang jelas-jelas liberal, begitu pula adanya hasil RUPS 2008 yang mengamanatkan unbundling PLN melalui kebijakan korporat, dan terakhir dengan disyahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009, semua ini jelas merupakan political will pemerintah yang sangat kuat yang terekam dalam alur benang merah bagi privatisasi PLN yang belum terjawab.

Untuk menjawab permasalahan diataslah rupanya, pemerintah –dengan pertimbangan sedikit berbau politis– kemudian berketetapan untuk menempatkan sosok Dahlan Iskan sebagai Direktur Utama menggantikan Fahmi Mochtar, dengan tugas utama melaksanakan restrukturisasi korporat sebagaimana tercantum dalam Siaran Pers Kementerian Negara BUMN  No-PR-17/S.MBU.I/2009 tanggal 23 Desember 2009 pukul 15.00 Wib di Auditorium PLN Pusat. Dengan demikian apabila di tengok butir-butir The White Paper nya Menteri Pertambangan dan Energi diatas, dan juga isi kesepakatan yang tertuang dalam LOI, 16 Maret 1999 yang menyatakan bahwa pemerintah akan melaksanakan Power Sector Restructuring Program yang diawali dengan butir (ii) LOI yaitu: “to Restucture the Organization of PLN” atau restrukturisasi korporat, memang sangat lah klop dengan penempatan Dahlan Iskan sebagai the man behind the gun, dimana sosok “the gun”nya adalah UU No 30/2009 tentang ketenagalistrikan dengan target penyelesaian Power sector Restucturing Program, yang intinya privatisasi PLN.
Syah-syah saja bila para pakar ekonomi, berusaha menganalisa tentang mungkin tidaknya PLN di privatisasi dengan mengkaitkan ke parameter ekonomi, dengan tujuan mementahkan kekhawatiran tentang adanya privatisasi PLN. Namun dengan contoh nyata kasus NAPOCOR, terlebih-lebih adanya statemen dari Prof. Jeffry Winters, guru besar North Western University (AS) dalam seminarnya di hotel Mulia Jakarta tiga tahun silam yang menyatakan, bahwa fenomena privatisasi BUMN semacam NAPOCOR, PLN, EGAT (Thailand) dan lain-lain dimuka bumi ini, adalah merupakan upaya Political treatment dari negara-negara adidaya untuk mengkooptasi secara politis negara-negara berkembang, dengan membonceng issue besar globalisasi dan pasar bebas.
Oleh : AHMAD DARYOKOPengamat Kelistrikan
Last Updated on Friday, 12 March 2010 23:54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar